Hujan belum juga reda. Aku terpaksa
berdiam di sudut toko ini. Toko yang menurutku lumayan sempit karena aku juga
terhimpit diantara ibu-ibu yang sengaja berteduh dari derasnya hujan yang sudah
mengguyur sejak pagi. Sebelah kananku seorang ibu muda yang mengengam anaknya.
Usia anakya sepertinya sebaya dengan usia anakku. Kira-kira 8 tahun. Ya, seusia
Aris anakku. Sebelah kiriku ada seorang ibu yang membawa belanjaan banyak
sekali. Menurut perkiraanku, ibu ini seorang pedagan warteg yang sengaja
belanja pagi-pagi sekali di pasar ini.
Pandanganku kualihkan ke beberapa
sudut pasar. Banyak yang sengaja berteduh dari derasnya hujan. Sesekali
kupandangi kresek kemudian kueratkan
kembali gengaman kresek belanjaanku. Aku
takut terjatuh bahkan rusak, karena didalamnya ada makanan kesukaan Aris,
anakku kue cubit serta ada keong kecil lengkap dengan rumah-rumahannya. Aku
bahagia sekali dan sudah terbayang wajah
lucunya dengan pipi gembulnya yang gembira menerima kue cubit dan keong ini
yang memang dengan terpaksa aku turuti.
“Jangan lupa, ya, Bu! Keong kecil
dan rumah-rumahannya dicari,” Aris mengelendot manja saat aku hendak ke pasar.
“O,iya kue cubitnya juga.”
“Jangan sekarang , sayang! Uangnya
hanya cukup untuk beli sayur dan lauk saja,” ucapku kala itu.
“Ya…, Ibu!” Aris menekuk wajahnya.
Ia tidak bersemangat. Pipi gembulnya sekan ikut bersedih.
Untuk wajah seperti ini aku tidak
tega. Terpaksa aku mencongkel celengan sekedar membahagiakannya.
“Baiklah tapi dengan syarat Aris
mandi lalu makan pakai telor ceplok yang sudah ibu siapkan,ok!”
“Hore!! Asyikk! Ok, Bu!” teriak Aris
gembira. Atis tersenyum lebar.
Lamunanku seakan terhenti saat
seorang ibu mengerutu,” Huh! Kapan berhentinya. Hujan membuat semuanya jadi
kacau.” umpatnya.
Aku hanya tersenyum kecut, bukan
salah hujannya. Hujan adalah rahmat dari Sang Maha Pencipta. Bukankah dengan
hujan tanah yang gersang akan menjadi subur kembali. Dan makhluk hidup yang ada
di bumi dapat mengambil manfaatnya dari keberadaan hujan ini.
“Kalau hujannya tidak berhenti juga,
kapan bisa masak buat anak, nih!” gerutu ibu lainnya. Ibu itu tetap mengerutu. Aku sengaja
tak memedulikannya. Kupandangi langit yang masih tampak muram tetes airnya belum
juga berhenti. Bahkan semakin banyak. Aku tersenyum gelisah.
Seorang ibu yang berada tak jauh di
tempatku berdiri tampak bersiap-siap Ia
terpaksa menutup kepala anaknya dengan alas seadanya kemudian pergi
meninggalkan tempat ini.
“Tak tahu diri orang itu, kasihan
kan anaknya kalau sakit gimana?” gerutu sebelahku.
“Ya, mungkin ibu itu ada keperluan
yang sangat mendesak!” jawabku. “Tidak perlu seperti itu dalam menilai orang,
Bu! Lagi pula kepala anaknya sudah ditutupi, kok!” tambahku.
Ibu itu terdiam.
Hujan belum juga reda. Dan aku semakin
merapat ke dalam. Desakan beberapa orang yang baru datang menyebabkan aku harus
mengeser badanku ini.
“Hujan seperti ini rawan
kecelakaan.” ucap seorang laki-laki yang berada didepanku.
“Iya, betul, Pak! Bulan lalu saja
ada seorang pedagang buah mengalami kecelakaan,” jawab ibu yang membawa belanjaan banyak.
“Ditabrak apa?” tanya yang lainnya.
“Kalau tidak salah ada mobil yang
remnya blong. Pada saat pedagang buah itu nyebrang pengendara mobil tidak bisa
menghindar. Dan terjadilah benturan hebat. Dengar kabar pengendara mobil itu supirnya
juga mengantuk!” ucapnya dengan nada kesal.
“Kemudian apa yang terjadi?” tanya
seorang yang terlihat ingin tahu.
“Yang terjadi pedagang buah itu
tewas seketika. Kasihan, Apalagi pedagang buah itu meningalkan istri yang mengandung anak keduanya.
“Memang jaman sekarang seperti ini
sudah semakin semeraut. Baik pengendara
mobil dan motor tidak taat peraturan. Yang penting cepat sampai tanpa melihat
keselamatan orang lain!” jawabnya geram.
“Harusnya kalau ngantuk, ya,
istirahat dulu lah!” ucap laki-laki itu geram.
“Rumah pedagan buah itu juga tidak
terlalu jauh. Tepat berada di gang
itu,”tunjuk laki-laki yang berbadan tegap
Deg!Jantungku serasa copot.
Sebenarnya aku mengira yang mereka ceritakan adalah pedagan lain. Tapi ternyata
tidak! Yang mereka ceritakan sebenarnya
adalah suamiku. Tak terasa butir-butir turun dari mataku.
“Lho, mengapa ibu menangis?” tanya
seoran ibu yang berdiri di sebelah kananku.
“ Hm..hm…,”Aku tergagap. Buru-buru
kuseka air mataku.
“Terlalu menghayati ceritanya, ya
Bu?” tanya yang lainnya.
Aku hanya mengangguk pelan.
Suamiku meninggal baru sebulan yang
lalu. Namanya Mardi. Sosok laki-laki yang sangat bertanggung jawab. Seorang
yang ulet dalam bekerja. Mencari nafkah asal halal pasti dijalaninya. Pernah
tetangga meminta dibenarkan saklar listriknya yang koslet, suamiku Mardi bisa
melakukannya. Membetulkan genteng milik tetangga pun dilakukannya. Ringan
tangan dalam membantu siapa saja. Walau untuk itu terkadang tidak dibayar.
“Hidup itu tidak selalu uang. Kadang pekerjaan sekecil apapun, kalau itu bisa membantu orang
lain pasti akan mendapat pahala.” begitu katanya penuh keyakinan.
Beberapa tetangga juga bertanya apa ada hal aneh sebelum
kepergiannya? Yang aku ingat suamiku itu semakin taat beribadah. Mengajak Aris
anakku untuk sholat subhu di mushola. Memasak nasi goreng untukku yang tidak
pernah dilakukannya. Dan aku lihat wajah suamiku, Mardi terlihat lebih putih dari biasa.
Sehari sebelum kepergiannya ada hal
aneh yang dikatakannya. “ Besok di rumah juga banyak orang. Saudara-saudara
pada datang.”
Aku tidak terlalu serius
menangapinya. “Guyon nih , Bapak!” jawabku sekenanya.
“Nah, itu tanda-tanda kepergiaanya,
Bu!” jawab tetanggaku kala itu
Aku hanya tersenyum saja. Bagiku
kalau memang sudah waktunya untuk kembali kepada penciptaNya pasti juga akan
terjadi. Dan aku sudah ikhlas akan kepergian Mardi suamiku.
Lamunanku terhenti saat seorang ibu
menyenggol bahuku. Kupandangi langit kembali yang terlihat masih mengeluarkan
air hujan.
“Mengapa hujannya belum berhenti
juga. Kalau seperti ini terus bagaimana bisa sampai di rumah,” gumamku.
Beberapa ibu sudah beranjak dari
tempat ini. Mereka terpaksa menerobos lebatnya hujan. Aku pun bersiap-siap.
Kubisikan pelan dan kuraba cabang bayiku yang berada dalam kandungan,” kita
pela-pelan, ya, sayang, kasihan kakakmu menunggu lama.”
Aku ambil sekedarnya sebagai alas
dikepalaku. Saat aku bersiap berjalan, seorang ibu pemilik warung yang tak lain adalah tetanggaku yang
menyodorkan payungnya,“Pakailah
ini!Kasihan bayi yang ada dalam perutmu. Kamu harus sehat, Lastri!” ucapnya.
Aku mengambil payung pinjamannya.
“Terimakasih, Bu!” jawabku.
Mbok Inem yang biasa aku panggil
mengangguk.
Perlahan aku pun meninggalkan
emperan toko itu. Entahlah apa mungkin aku salah dengar, mereka seperti
mengucapkan, “Oh...,” secara berbarengan saat Mbok Inem menceritakan siapa aku
sebenarnya. Ya, aku adalah istri pedagang buah yang mereka ceritakan tadi. Tapi
aku tidak peduli. Aku ingin cepat sampai di rumah. Bertemu dengan Aris, anakku.
Langkahku semakin ku percepat. Sebagian orang mengingatkan agar aku
berhati-hati, “Jalannya licin, Bu
berhati-hatilah!”
Aku hanya mengangguk.
Deru motor dan mobil saling
sahut-sahutan. Mereka telihat tidak sabar. Entah! Apakah kehidupan jalan sudah
semeraut seperti ini. Aku tidak tahu!
Kupercepat langkah kakiku. Kuterobos
lampu merah. Payung yang aku pakai terlihat berkibar-kibar terkena hembusan
angin dan derasnya hujan. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Aris, anakku.
Kugenggam semakin erat plastik kresek ini. Didalamnya masih ada kue cubit dan
keong beserta rumah-rumahan. Aku memandang dengan penuh bahagia. Semua
permintaanya sudah aku dapatkan.
Pas tiba di pertigaan sesudah lampu
merah aku melihat ke kiri dan ke kanan. Segera aku pun menyeberang. Akan tetapi
terdengar samar-samar teriakan orang. AWAS!! MOTOR BU!!
BRUK!! Tubuhku terpental. Kresek
hitam masih kuat berada digenggamanku. Sayup-sayup orang semakin banyak
berdatangan. Yang kuingat “Ya Allah…Lastriiiii!” suara Mbok Darmi berteriak
histeris.
Motor yang tadi menambrakku sudah
kabur.
“Mereka yang salah! Sudah tahu lampu
merah! Masih diterobos juga! Sayup-sayup masih kudengar seorang ibu berteriak
dengan nada marah.
Beberapa menit kemudian aku
merasakan derasnya darah yang mengucur dari kepalaku. Pandanganku perlahan-lahan kabur. Nafaskupun tersengal-sengal seperti ada batu besar yang menghimpit
dadaku. Yang aku ingat kresek hitam
masih ada digenggamaku.(Hdy- love teach and write)
NOTE: Pernah diikutsertakan dalam kelas hukum.
2 komentar:
Duuuuh ceritanya kena banget. Bikin mataku berkaca-kaca. :(
sini aku kasih tisu mba....cup..cup
Posting Komentar